Efek Favoritisme HRD Terhadap Moral dan Produktivitas Tim

Efek Favoritisme HRD Terhadap Moral dan Produktivitas Tim

Table of Contents

Dalam banyak perusahaan, HRD sering dipandang sebagai pihak yang paling tahu cara menjaga keseimbangan dan keadilan di tempat kerja. Tapi apa jadinya jika justru HRD yang menunjukkan favoritisme?
Ketika karyawan mulai merasa ada perlakuan istimewa terhadap individu tertentu (entah karena kedekatan personal, lama bekerja, atau sekadar “cocok”) dampaknya bisa jauh lebih besar dari sekadar rasa tidak nyaman.

Apa Itu Favoritisme di HRD dan Bagaimana Bisa Terjadi?

Favoritisme di HRD adalah kondisi ketika keputusan terkait karyawan (seperti promosi, pembagian tugas, atau kesempatan pengembangan) dipengaruhi oleh faktor personal, bukan kinerja atau kompetensi.
Hal ini tidak selalu terjadi secara blak-blakan dan tidak selalu disadari. Misalnya, HRD yang lebih sering memberi kesempatan pada karyawan yang lebih dia kenal secara personal, punya gaya komunikasi mirip, atau dianggap lebih mudah diajak bekerja sama, walau kontribusinya sebenarnya tidak menonjol.

Di permukaan, hal ini mungkin terlihat sepele. Namun, favoritisme adalah suatu bentuk bias yang dapat memengaruhi keputusan penting dan menimbulkan persepsi ketidakadilan di antara karyawan. Dalam beberapa kasus, favoritisme juga muncul karena faktor struktural. Misalnya, tekanan dari atasan untuk “menjaga” orang tertentu, atau karena budaya perusahaan yang tidak menegakkan objektivitas dengan tegas.

Lebih berbahaya lagi, favoritisme seringkali dibungkus dalam alasan profesional dengan dalih “dia lebih cocok untuk proyek ini” atau “dia sudah lama di sini jadi lebih pantas dapat promosi,” padahal keputusan tersebut tidak berdasarkan data kinerja yang jelas.
Lama-kelamaan, bias seperti ini menjadi pola yang sulit diubah, karena sudah dianggap sebagai hal normal.

Ketika HRD tidak menyadari atau bahkan membiarkan pola ini terjadi, benih ketidakpercayaan mulai tumbuh di antara karyawan. Mereka mungkin tidak langsung mengeluh, tapi rasa kecewa dan demotivasi akan perlahan memengaruhi cara mereka bekerja dan berinteraksi dengan tim.

Dampak Favoritisme Terhadap Moral dan Dinamika Tim

Ketika favoritisme muncul di dalam HRD, dampaknya terhadap moral tim bisa sangat nyata. Karyawan yang merasa diperlakukan tidak adil akan kehilangan rasa percaya terhadap sistem dan mulai mempertanyakan nilai kerja keras mereka.

“Untuk apa kerja lebih keras kalau hasilnya tetap kalah sama yang dekat dengan HRD?” Pertanyaan semacam ini sering menjadi tanda awal turunnya moral tim.

Turunnya Kepercayaan Antar Karyawan

Kepercayaan adalah fondasi utama dalam tim yang solid. Begitu HRD menunjukkan tanda-tanda favoritisme, kepercayaan itu mulai goyah. Karyawan akan melihat bahwa hasil kerja keras bukan lagi faktor utama yang menentukan kesempatan, melainkan siapa yang lebih dekat dengan HRD atau atasan.

Ketika kepercayaan hilang, dinamika tim berubah secara drastis. Orang mulai enggan berbagi ide, khawatir kontribusinya akan diambil alih oleh “orang dalam.” Beberapa mungkin memilih diam dalam rapat, sementara yang lain hanya mengikuti arus tanpa rasa memiliki terhadap proyek yang dijalankan.

Kolaborasi yang seharusnya memperkuat kinerja malah berubah menjadi suasana pasif dan penuh keraguan.

Menurunnya Motivasi dan Semangat Kerja

Ketika favoritisme terjadi, motivasi karyawan yang tidak termasuk dalam “lingkaran istimewa” perlahan memudar. Mereka mulai merasa bahwa kerja keras, dedikasi, dan hasil nyata tidak lagi menjadi faktor utama untuk diakui. Sebaliknya, yang terlihat dihargai adalah kedekatan personal atau faktor nonkinerja.

Situasi ini menciptakan rasa frustrasi. Karyawan yang sebelumnya rajin dan ambisius bisa berubah menjadi apatis. Mereka bekerja hanya untuk memenuhi kewajiban, bukan lagi karena dorongan untuk berkembang atau memberikan hasil terbaik.

Dalam banyak kasus, semangat berprestasi digantikan dengan sikap “ya sudahlah,” yang pada akhirnya menurunkan standar kinerja seluruh tim.

Tumbuhnya Budaya Kerja Tidak Sehat

Favoritisme tidak hanya berdampak pada individu, tapi juga menciptakan budaya kerja yang beracun. Ketika karyawan melihat bahwa keberpihakan menjadi jalan pintas menuju pengakuan, mereka mulai meniru perilaku tersebut.

Alih-alih berfokus pada peningkatan kinerja, sebagian karyawan bisa saja mencoba “mendekat” ke HRD atau atasan demi mendapatkan posisi aman. Budaya seperti ini membuat nilai profesionalisme memudar. Kerja keras, kolaborasi, dan inovasi perlahan tergeser oleh politik kantor.

Karyawan yang tidak mau terlibat dalam permainan semacam ini merasa terasing, sementara mereka yang pandai membangun koneksi pribadi justru lebih diuntungkan.

Penurunan Produktivitas Tim

Produktivitas tim sangat bergantung pada rasa keadilan dan motivasi kolektif. Begitu favoritisme muncul, dua hal itu langsung terganggu.

Karyawan yang merasa tidak dihargai akan kehilangan dorongan untuk bekerja maksimal, sementara mereka yang mendapat perlakuan istimewa bisa menjadi terlalu nyaman dan kurang terdorong untuk berkembang. Kinerja tim secara keseluruhan menurun.

Dalam tim yang sehat, setiap orang berusaha memberikan kontribusi terbaik karena tahu hasilnya akan dinilai secara objektif. Namun, ketika HRD atau atasan memihak, rasa tanggung jawab bersama itu memudar.

Tingginya Turnover dan Hilangnya Talenta Potensial

Salah satu efek paling serius dari favoritisme adalah meningkatnya tingkat turnover, terutama di antara karyawan berprestasi. Orang-orang yang bekerja dengan integritas dan mengandalkan kemampuan biasanya memiliki ekspektasi tinggi terhadap keadilan dan transparansi.

Begitu mereka menyadari bahwa sistem tidak berpihak pada kinerja, mereka akan mulai mencari peluang di tempat lain, di mana usaha mereka benar-benar dihargai.

Perginya karyawan berbakat bukan hanya kehilangan individu yang produktif, tetapi juga kehilangan investasi besar perusahaan. Rekrutmen, pelatihan, hingga adaptasi karyawan baru memakan waktu dan biaya, sementara tim yang ditinggalkan harus menanggung beban kerja tambahan.

Lebih jauh lagi, reputasi perusahaan ikut terpengaruh. Di era digital, pengalaman karyawan cepat menyebar melalui media sosial atau platform review kerja. Jika favoritisme di HRD menjadi rahasia umum, perusahaan akan kesulitan menarik talenta berkualitas karena calon karyawan cenderung menghindari lingkungan kerja yang tidak adil.

Template Penggajian

Penutup: Membangun Budaya Kerja yang Adil dan Produktif

Banyak perusahaan menggunakan video marketing untuk menunjukkan nilai-nilai seperti kolaborasi, keadilan, dan empati di tempat kerja. Namun, jika realitas internal berlawanan dengan pesan yang disampaikan, publik akan cepat menangkap ketidaksesuaian itu. Dalam dunia yang transparan seperti sekarang, disonansi antara citra dan kenyataan bisa merusak kepercayaan lebih cepat daripada krisis finansial.

Artinya, keadilan di dalam perusahaan sangat berkaitan dengan strategi komunikasi dan reputasi. HRD yang menjaga netralitas dan memperlakukan semua karyawan secara setara benar-benar mencerminkan budaya perusahaan yang autentik.

Dapatkan informasi terbaru mengenai HR dan Payroll dengan berlangganan newsletter 

    HRMLabs
    Privacy Overview

    This website uses cookies so that we can provide you with the best user experience possible. Cookie information is stored in your browser and performs functions such as recognising you when you return to our website and helping our team to understand which sections of the website you find most interesting and useful.