Kalau beberapa waktu lalu kita ramai membicarakan quiet quitting, fenomena di mana karyawan tetap bekerja sesuai jobdesc tapi tanpa “effort lebih”. Sekarang muncul istilah baru yang tidak kalah menarik: quiet covering.
Istilah ini mulai banyak dibahas di luar negeri dan perlahan-lahan masuk ke diskusi HR di Indonesia. Mungkin kamu pernah melihat tatapan datar khas Gen Z yang sering dianggap cuek, dingin, atau tidak tertarik dengan pekerjaan. Tapi ternyata, di balik ekspresi itu ada cerita yang lebih dalam.
Apa Itu Quiet Covering?
Menurut riset terbaru yang dikutip Forbes, quiet covering adalah kecenderungan karyawan untuk menyembunyikan aspek pribadi mereka agar terhindar dari stereotip, penilaian, atau diskriminasi di tempat kerja. Tujuan utamanya sederhana: terlihat profesional, lebih mudah diterima, dan punya peluang lebih besar untuk naik level dalam karier.
Profesor Kenji Yoshino, pencetus istilah covering, menyebut praktik ini sering muncul dalam bentuk “mengecilkan” identitas pribadi. Bisa jadi usia, gender, orientasi seksual, kondisi kesehatan, atau bahkan kebiasaan sehari-hari. Semuanya dilakukan demi menyesuaikan diri dengan standar lingkungan kerja.
Kalau kita tarik ke konteks Indonesia, fenomena ini cukup mudah ditemukan. Misalnya, karyawan yang pura-pura paham saat meeting padahal bingung, enggan bertanya agar tidak dianggap kurang pintar, atau menutupi masalah kesehatan mental supaya tidak dicap lemah.
Fakta Menarik Tentang Quiet Covering
Fenomena ini ternyata cukup masif. Studi dari Hu-X x Hi-Bob (dilansir Forbes) menemukan bahwa: 97% karyawan melakukan covering setidaknya sesekali, dan 67% melakukannya cukup sering.
Alasan utama meliputi menjaga citra profesional (55%), mencari penerimaan sosial (48%), menghindari diskriminasi (46%), hingga meningkatkan peluang promosi atau bonus (46%).
Quiet covering paling sering dilakukan terhadap atasan langsung (54%) dan senior leader (55%).
Dan yang cukup mengejutkan, Gen Z dua kali lebih sering melakukan covering dibandingkan generasi boomer. Bahkan 56% mengaku melakukannya saat berinteraksi dengan HR.
Apa yang Disembunyikan Gen Z?
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang vokal, digital savvy, dan terbuka soal banyak hal. Namun, penelitian justru menunjukkan bahwa di dunia kerja, mereka sering menutupi sisi pribadinya.
Menurut Forbes, banyak Gen Z yang menyembunyikan:
- Tantangan kesehatan mental
- Kebiasaan self-care
- Pengalaman masa lalu yang dianggap tidak sesuai citra profesional
Tia Katz, founder Hu-X, menjelaskan bahwa tatapan kosong khas Gen Z bukan tanda pasif atau malas, melainkan strategi perlindungan diri.
“Apa yang tampak seperti ketidakpedulian seringkali merupakan bentuk perlindungan diri yang aktif dan terukur. Itu adalah batasan nonverbal yang mereka adaptasi untuk menghadapi tempat kerja yang dibentuk oleh budaya yang selalu aktif, di mana kepercayaan diri (bukan kompetensi), ketersediaan emosional, dan antusiasme pada budaya perusahaan diperlakukan sebagai metrik kinerja.”
Artinya, Gen Z tidak sedang malas, mereka justru sedang berusaha menjaga diri di tengah budaya kerja yang seringkali menuntut banyak hal secara emosional.
Dampak Quiet Covering pada Karyawan dan Perusahaan
Sekilas, quiet covering terlihat seperti hal kecil: hanya menyembunyikan hal pribadi, lalu apa salahnya? Tapi kalau terjadi terus-menerus, dampaknya bisa serius. Studi Hu-X x Hi-Bob menemukan tujuh konsekuensi utama bagi karyawan Gen Z, antara lain:
- Menyebabkan stres sedang hingga berat (64%)
- Mengurangi produktivitas dan efisiensi (54%)
- Menghambat perkembangan karier (40%)
- Menurunkan keterlibatan di tempat kerja (56%)
- Mempengaruhi kehidupan di luar kerja (43%)
- Membatasi kreativitas dan inovasi (55%)
- Menurunkan kinerja secara keseluruhan (47%)
Bagi perusahaan, ini berarti ada risiko kehilangan potensi terbaik dari karyawan, terutama generasi muda yang biasanya penuh ide segar dan inovatif. Kalau tidak ditangani, dampaknya bisa meluas ke produktivitas, engagement, bahkan retensi karyawan.
Apa yang Bisa Dilakukan HRD?
Sebagai HRD, kamu punya peran besar untuk memastikan karyawan tidak merasa perlu terus-menerus “menutupi” jati diri mereka. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
- Bangun budaya kerja inklusif. Tekankan bahwa bertanya atau melakukan kesalahan adalah bagian dari proses belajar, bukan tanda kelemahan.
- Berikan ruang aman untuk keterbukaan. Karyawan tidak perlu merasa terpaksa membuka diri, tapi pastikan mereka tahu bahwa tidak ada konsekuensi negatif jika mereka melakukannya.
- Fokus pada kesehatan mental. Program well-being, jam kerja fleksibel, atau sekadar menyediakan jalur komunikasi yang terbuka bisa membantu.
- Gunakan feedback sebagai masukan. Seperti kata Katz, quiet covering bukan bentuk perlawanan, melainkan feedback. Mereka sedang memberi sinyal bahwa ada sesuatu di budaya kerja yang perlu diperbaiki.
Kesimpulan
Fenomena quiet covering memberi pesan yang cukup jelas: banyak karyawan, terutama Gen Z, ingin diterima apa adanya tanpa harus kehilangan kesempatan karier. Mereka ingin dihargai atas kompetensi dan kontribusi, bukan sekadar seberapa baik mereka bisa menyesuaikan diri dengan “standar budaya kerja.”
Bagi HRD di Indonesia, memahami fenomena ini bisa jadi langkah awal untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, inklusif, dan mendukung. Ingat, autentisitas bukan ancaman, justru aset bagi perusahaan.
HRMLabs Mendukung HR yang Lebih Manusiawi
Di era di mana employee experience menjadi kunci, HR juga butuh sistem yang mendukung pendekatan lebih manusiawi. HRMLabs hadir sebagai solusi HR dan penggajian berbasis cloud yang fleksibel dan bisa dikustom sesuai kebutuhan unik tiap perusahaan.
Bukan sekadar mengotomatiskan payroll, HRMLabs membantu HRD mempermudah administrasi, mengelola data karyawan secara lebih transparan, dan menciptakan pengalaman kerja yang lebih sehat dan inklusif. Ditambah dengan dukungan real person customer support yang selalu siap membantu, HR tidak perlu merasa sendirian dalam membangun lingkungan kerja yang lebih baik.
